Ironisnya, bangunan tersebut telah beroperasi lebih dari sepuluh tahun tanpa papan nama PT atau CV, dan menempati lahan yang menurut warga dan aparatur kelurahan merupakan area penghijauan dan sempadan sungai.

Pada Jumat (25/07/2025), tim kami mendatangi lokasi untuk melakukan penelusuran. Di lokasi, terlihat bahwa air limbah dari aktivitas pelapisan logam diduga dibuang langsung ke aliran kali melalui pipa paralon, tanpa terlihat adanya sistem pengelolaan limbah cair sebagaimana mestinya.

Ketika ditanya, pihak pengelola menolak memberikan informasi terkait keberadaan bak pengolahan limbah.
Seorang wanita berinisial NN (48), yang mengaku sebagai staf, enggan memberikan keterangan soal perizinan perusahaan ataupun instalasi pengolahan limbahnya.

Ia justru mengarahkan tim untuk bertemu dengan seorang warga berinisial FR (37), yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan pihak pabrik dan mantan Ketua Karang Taruna setempat.

Saat dikonfirmasi melalui sambungan WhatsApp, FR bersedia menemui tim di sekitar bantaran kali. Dalam pertemuan tersebut, FR menyatakan bahwa lahan yang ditempati bangunan tersebut adalah tanah milik seorang warga bernama Pak Haji yang disewakan, bukan tanah pengairan.

“Kita punya izin lengkap, dan selama ini belum pernah ada surat teguran dari pemerintah,” ucap FR. Pertemuan itu juga dihadiri oleh dua ketua RW dan beberapa warga sekitar.

Namun, pernyataan FR dibantah oleh Sekretaris Lurah (Sekel) Kelurahan Keroncong, Maman Tarmidi. Dalam keterangannya pada Rabu (29/07/2025), Maman menyatakan bahwa lahan tempat berdirinya bangunan tersebut masuk dalam zona penghijauan dan sempadan sungai.

“Dulu kami sempat menanam 20 pohon di sana, tapi semuanya hilang. Sekarang justru berdiri bangunan liar. Padahal ada ketentuan, 20 meter dari bantaran kali adalah zona penghijauan dan tidak boleh dibangun,” tegas Maman.

Ia juga menambahkan bahwa pihak kelurahan telah melayangkan surat ke dinas lingkungan hidup dan instansi terkait, namun hingga kini belum ada respons.

“Kami dari kelurahan sudah bersurat, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan,” tambahnya.

Dugaan Pelanggaran Aturan Hukum

Aktivitas pabrik tersebut berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain:

1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 60 & Pasal 69 ayat (1) huruf e: Melarang pembuangan limbah tanpa pengolahan.

Pasal 104: Pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar bagi pelaku pencemaran lingkungan.

2. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 33 dan Pasal 69: Melarang pembangunan di sempadan sungai serta memberikan sanksi administratif dan pidana atas pelanggaran tata ruang.

3. PP No. 22 Tahun 2021

Setiap usaha wajib memiliki dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL) serta sistem pengolahan limbah.

4. Perda Kota Tangerang No. 6 Tahun 2012 tentang RTRW

Menetapkan bahwa sempadan sungai dan lahan penghijauan merupakan zona lindung, tidak boleh dibangun untuk kegiatan usaha.

5. Perda Kota Tangerang No. 5 Tahun 2010 tentang Limbah

Mengharuskan setiap usaha memiliki izin dan instalasi pengolahan limbah cair sebelum membuangnya ke lingkungan.

Tanggapan KJK: Soroti Ketiadaan Ketegasan Aparat

Sekretaris Komunitas Jurnalis Kompeten (KJK) Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Pandji Pamungkas, menilai bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan indikasi pembiaran oleh otoritas terkait.

“Jika benar bangunan itu beroperasi tanpa izin dan membuang limbah ke sungai, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif—ini sudah mencemari lingkungan dan merusak tata ruang. Pemerintah Kota Tangerang harus menjelaskan ke publik, kenapa bisa berlangsung lebih dari satu dekade tanpa penindakan,” tegas Pandji, Kamis (31/07)25).

Ia juga menambahkan bahwa komunitas jurnalis akan terus mengawal kasus ini dan siap membuka data-data lain jika ditemukan keterlibatan pihak-pihak tertentu dalam praktik pembiaran.

“Jangan sampai ada kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas,” pungkasnya.

Kesimpulan: Siapa yang Lindungi?

Dengan dugaan pembuangan limbah langsung ke kali, berdirinya bangunan di atas lahan penghijauan, serta tidak adanya papan nama resmi perusahaan, kegiatan pabrik ini jelas patut dipertanyakan. Pemerintah daerah, terutama dinas lingkungan dan tata ruang, harus segera turun tangan.

Apakah dibiarkannya aktivitas ini karena lemahnya pengawasan?
Atau ada pihak yang bermain di belakangnya?

 

Penulis: Redaksi
Sumber: Investigasi Lapangan Tim Redaksi
Konfirmasi Tambahan: Komunitas Jurnalis Kompeten (KJK) DPP